top of page
Writer's picturepsychotalk.id

"Gangguan Preferensi Seksual Pedofilia"

Updated: Sep 1, 2020



Kasus pedofilia di dunia bukanlah menjadi salah satu kasus kekerasan seksual yang tidak asing lagi, begitu pula di Indonesia. Belum jelas sejak kapan kasus pedofil ini menjadi salah satu kasus kekerasan seksual yang paling banyak dilaporkan di Indonesia. Jika kita mencari di laman pencarian Google dengan kata kunci “pedofil” maka banyak judul artikel yang melampirkan berita tersebut. Menurut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat sejak 2016 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang masuk meningkat 100 persen tiap tahunnya, dan kemungkinan masih banyak peristiwa yang belum dilaporkan atau ditutupi dan dinilai sebagai aib keluarga, seperti fenomena gunung es.

Bukan hanya itu saja, para pelaku Pedofilia sendiri juga memiliki komunitas yang sudah bertaraf internasional dimana kegiatan dari komunitas tersebut adalah membagikan foto atau video anak-anak yang nantinya akan menjadi target pemenuhan dorongan seksual mereka.

Seperti yang telah diceritakan pada artikel “fethisisme” sebelumnya, pedofilia termasuk dalam salah satu gangguan preferensi seksual yang dialami oleh individu dengan usia minimal 16 tahun(Freud 1963)


kemudian,Bagaimana penjelasan ilmiahnya ?

Pedofilia adalah gangguan preferensi seksual yang mana seseorang memiliki ketertarikan seksual terhadap anak-anak. Menurut Pedoman Diagnostik Gangguan Jiwa orang dengan pedofilia memiliki gejala-gejala sebagai berikut:

Gangguan Pedofilia (F65.4)

Pedoman Diagnostik menurut PPDGJ III

1. Preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya prapubertas dibawah 13 tahun atau awal masa pubertas, baik laki-laki maupun perempuan

2. Pedofilia jarang ditemukan pada perempuan

3. Preferensi tersebut harus berulang dan menetap

4. Termasuk: laki-laki dewasa yang mempunyai preferensi partner seksual dewasa, tetapi karena mengalami frustrasi yang kronis untuk mencapai hubungan seksual yang diharapkan, maka kebiasaannya beralih kepada anak-anak sebagai pengganti.

menurut DSM-5 (APA, 2013):

1. Berlangsung setidaknya 6 bulan, fantasi seksual yang berulang dan intens, dorongan seksual atau perilaku yang melibatkan perilaku seks pada anak-anak, pra-remaja (biasanya usia 13 tahun atau kurang).

2. Perilaku individu terhadap dorongan seksual ini dilandasi dari tekanan atau masalah interpersonal

3. Individu setidaknya berusia 16 tahun dan 5 tahun lebih tua dari anak-anak sesuai dengan kriteria pertama.

Pada kasus gangguan pedofilia, mayoritas pelaku adalah pria, sebanyakk 3-5% dari populasi, sementara untuk pelaku perempuan belum diketahui jumlah persentasinya. Ketika kita membicarakan tentang gangguan fisik, psikologis atau preferensi seksual, kita tidak lepas dengan faktor-faktor biopsikososialnya. Di bawah ini adalah faktor-faktor tersebut:


Faktor Risiko dan Prognostik:

1. Temperament (psikologis)

Gangguan kepribadian antisosial dapat dianggap sebagai faktor pemicu pedofilia

2. Lingkungan (sosial)

Individu dengan gangguan pedofilia, berdasarkan laporan menyatakan sebagian menjadi korban kekerasan/pelecehan seksual pada masa anak.atau miskonsepsi berkaitan dengan kenikmatan seksual yang dilihatnya dari lingkungan sekitar, hal ini mejadi pola yang beruntun hingga menjadi perilaku.

3. Genetik dan fisiologis

Ada beberapa bukti bahwa terjadingan gangguan perkembangan saraf saat janin meningkatkan perilaku pedofilia ini

Peristiwa pelecehan yang dialami korban, memberikan banyak dampak, diantaranya: kerugian fisik, luka atau trauma secara psikis dan emosional.Jika trauma ini disimpan terlalu lama dan tidak terselesaikan maka memungkinkan korban memiliki gangguan psikologis bahkan bisa menjadi pelaku nantinya.


Kemudian, apa yang bisa dilakukan terhadap para pelaku pedofilia? ada beberapa pendapat bahwa solusi untuk memberantas pelaku kekerasan seksual adalah kebiri. Namun, apakah kebiri menjadi salah satu cara yang membantu? Atau malah semakin meningkatkan resiko gangguan kesehatan mental yang lain? Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Humaniora dan Manajemen Kesehatan, KEMENKES RI dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, KEMENSOS RI.


Berikut adalah cara yang bisa dilakukan terhadap pelaku pedofilia:

1. Pemberian hukuman bagi pelaku pedofil

2. Terapi medis bagi pelaku misalnya Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI), dan pemberian Obat hormon seperti medroxyprogesterone acetate(Depo-Provera)dan cyproterone acete

3. Psikoterapi

a. Terapi CBT(Cognitive Behavioral Therapy)

b. Treatment Conditioning

c. Terapi covert sensitization

d. Psikoterapi berlandaskan pada teori humanistik maupun psikodinamik

Asesmen dan treatment di atas dilakukan oleh profesional, seperti dokter, psikiater dan psikolog.

Selain itu tindakan yang dapat dilakukan keluarga dan lingkungan sebagai upaya family support adalah dengan :

1. Pengembangan pendekatan Community Support System yang berbasis pada kepekaan dan peran aktif masyarakat lokal dalam melakukan pengawasan, kontrol sekaligus tidakan pencegahan

2. Multisistemik terapi merupakan salah satu terapi yang dilakukan dengan community based treatment. Pada terapi ini membutuhkan peran serta keluarga dan kerabat pelaku, sebelumnya para terapis akan memberikan edukasi dan pelatihan kepada kerabat, keluarga serta lingkungan untuk mengurangi resiko pelaku menjadi pelaku pedofilia kembali.


Jika ada seseorang di lingkungan sekitar yang memiliki kecenderungan gangguan preferensi seksual tertentu atau ingin mengetahui kondisi diri sendiri, silahkan menghubungi psikolog, dokter, atau psikiater terdekat ya!

Hindari self diagnose dan labeling sembarangan tanpa diagnosis resmi dari profesional.



5 views0 comments

Comentários


bottom of page